Thursday, April 15, 2010

She's my best friend (part II)



Ada yang bilang seorang sahabat yang baik itu akan bahagia ketika melihat sahabatnya bahagia. Awalnya saya meyakini itu, tapi setelah mengalaminya sendiri ternyata susah juga, dan saya memang masih harus banyak belajar (maap sobat, tapi saya bakalan terus belajar kok )
Saya bersahabat dengan Ikong, nama aslinya sih Hernika, dan dia selalu minta orang2 memanggilnya Heren, meskipun ujung-ujungnya lebih banyak yang manggil dia Ika, dan panggilan sayang saya buat dia adalah ikong. Ok, back to the topic, saya bersahabat dengan ikong sudah hampir 7 tahun, sejak SMA. Waktu yang lumayan fantastis untuk sebuah persahabatan bukan? Kalau mau diceritakan kembali tentang awal persahabatan kami, saya juga sebenarnya bingung menceritakannya darimana, karena jujur saya juga lupa sebenarnya gimana kami bisa dekat. Justru yang saya ingat, saya dulu sebel banget sama yang namanya Ikong ini. Biasalah, jaman2 SMA waktu kita mulai nge gank sana-sini, Ikong malah lebih banyak menyendiri dan lebih banyak gaul sama senior. Belum lagi dia yang rada2 jutek gimana gitu, bikin aura nya nggak enak buat saya. Saya yang waktu itu masih punya instink gosip cukup tinggi (sampai sekarang masih ada sebenernya, tapi sudah di jalur yang benar dengan alasan untuk memperdalam ilmu psikologi saya hehe..), kadang suka iseng ngomongin Ikong sama temen2 yang lain.
Tapi sepertinya ini karma buat saya, and thanks God its being a good carma for me, Ikong malah jadi sahabat terbaik saya (selain sahabat saya yang satunya lagi, plie ). Kami tidak hanya berbagi suka dan duka, standar kan biasanya dalam hubungan persahabatan ya berbagi suka dan duka, tapi kami juga berbagi hidup. Kami berbagi mimpi2 kami, berbagi gosip (teuteup), berbagi kemarahan, bahkan berbagi sisi tergelap dari diri kami.
Ini foto saya dan Ikong,waktu hiking bareng
temen2 gereja ke puntang
formasi lengkap : Saya, Ikong dan Plie..
Ikong orangnya cukup ambisius, hampir sama seperti saya. Setiap kali kami berbagi mimpi2 kami, baik saya maupun Ikong pasti akan sama2 excited dan saya akui langsung memotivasi diri saya untuk segera mewujudkan mimpi2 itu.
Meskipun kadang saya berpikir kalau mimpi2 kami tercapai, besar kemungkinan saya dan Ikong akhirnya akan terpisah ruang dan waktu (halah, mulai mellow hehe..). Kalau mimpi2 kami itu tercapai pasti akan banyak hal yang berubah dan pastinya akan mempengaruhi hubungan kami. Saya tidak bilang akan berpengaruh buruk, tapi minimal akan berpengaruh pada kuantitas pertemuan kami, pada waktu2 yang semakin sempit bagi kami untuk kami habiskan bersama. But everythings will be change, right? dan siap tidak siap saya akan menghadapinya.
Hari ini Ikong mengabari saya bahwa salah satu mimpinya tercapai. Bekerja di Jakarta, di sebuah perusahaan multinasional, setelah beberapa waktu ini isi curhatan dia selalu sama. Bingung karena hampir satu tahun setelah dia lulus kuliah, dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Setelah dia bilang sudah berada di ambang batas kesabarannya, setelah dia berada di titik jenuh yang sangat tinggi, dan akhirnya semua kegundahannya itu terjawab.
Saya bahagia, jelas. Setelah selama ini juga saya berusaha mendukungnya sebisa saya. Saya juga ikut senang atas keberhasilan yang sahabat saya alami. Tapi saya juga tidak bisa bohong, di sisi lain saya malah sedih. Oke, bilanglah saya jahat. Tapi beneran saya hari ini lagi mellow banget kalau inget Ikong bakalan pergi dari Bandung tercinta ini. Iya sih Jakarta dan Bandung jaraknya cuma 2,5 jam yang bisa ditempuh setiap hari malah kalau mau. Kita bahkan masih bisa ketemu tiap akhir minggu.
Saya tahu ke-mellow-an saya ini dikarenakan karena ketidaksiapan saya dengan perubahan yang akan terjadi. Tapi balik lagi siap tidak siap, saya, Ikong, dan siapa pun harus menghadapinya. Dan hari ini, detik ini saya sedang mengalami pembelajaran baru dalam kehidupan saya dan juga pembelajaran baru dalam kehidupan persahabatan kami.
Sekarang saya mau belajar untuk menjadi sahabat yang lebih baik lagi, walaupun susah tapi beneran saya mau belajar, untuk ikut bahagia atas keberhasilan sahabat saya (beneran ini juga, saya beneran seneng Ikong bisa keterima kerja di Jakarta). Saya mau belajar untuk lebih siap lagi menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Dan yang pasti, saya juga jadi belajar bersyukur Tuhan telah memberikan saya seorang sahabat yang hebat seperti Ikong.
Congratz ya kong, take care your self di kota metropolis sana, kejar terus panggilanmu yang tertinggi.
Tha
150410..9 p.m.


Thursday, April 1, 2010

Antara Idealisme dan Realitas



Antara idealisme dan realitas? kesannya berat banget ya? bukan mau sok2-an ngomongin hal yang berat, tapi saya memang sedang tertarik dengan topik ini karena rasanya sangat dekat dengan kehidupan saya.

Kemarin saya chat dengan sahabat saya dan tercetuslah topik ini (kesannya kurang kerjaan amat di chatting omongannya kaya gini). Dimulai dari curhatan sahabat saya soal pekerjaannya. Let me describe what was my friend look like..Sahabat saya ini seorang seniman muda, yang pekerjaan sehari-harinya berkarya membuat desain-desain grafis baik itu untuk logo perusahaan, pamflet2, desain kaos, dll. Sebagai seniman tentunya dia punya ciri khas sendiri, punya cara kerjanya sendiri, dan punya pemikirannya sendiri atau yang biasa kita sebut idealisme. Sayangnya Idealismenya berbenturan dengan realitas yang ada, karena saat ini dia terjebak bekerja di sebuah kantor yang katanya kurang bisa menghargai karyanya dan tidak mengerti profesinya sebagai seorang desainer. Dia seringkali merasa hanya diperlakukan seenaknya sebagai kuli yang disuruh ini-itu, termasuk men-download karya yang sudah ada di internet hanya untuk mengejar deadline. Padahal kita tentu tahu bahwa hal ini adalah hal yang paling tabu bagi seorang seniman. Apa daya, realitas memaksanya bertahan karena toh di kantornya itulah dia bisa mencari makan.

Saya juga mengalami hal yang sama. Saya memang tidak berprofesi sebagai seniman seperti sahabat saya itu (kecuali kalau menulis juga bisa dibilang karya seni, maka saya bisa dengan bangga menyebut diri saya seniman ^^). Saya suka menulis hal-hal yang sesuai dengan idealisme saya, kritikan-kritikan tentang kondisi negeri ini, atau pandangan-pandangan saya tentang organisasi tertentu, bahkan opini-opini sederhana saya tentang cinta dan kehidupan. Tapi saya tidak bisa mempublikasikannya secara bebas karena besar kemungkinan kurang dapat diterima oleh banyak orang. Mending kalau hanya menimbulkan pro dan kontra, kalau ujung2nya saya bernasib sama seperti Prita Mulyasari, kan ngeri juga. Pada akhirnya idealisme saya itu sedikit saya turunkan, minimal mendekati realitas lah.

Skripsi adalah salah satu bentuk idealisme saya. Beberapa orang teman pernah bilang “Come on mit, get real lah. Skripsi tuh yang biasa2 aja, yang penting cepet lulus.” Tapi kali ini saya tetap bertahan dengan idealisme saya. Saya memang sudah resmi terdaftar sebagai anggota ‘mahasiswa swasta yang telat diwisuda’ tapi toh saya bisa maju juga dengan skripsi saya. Malahan teman2 saya yang memaksa get real itu nasibnya tidak jauh beda dengan saya a.k.a belum lulus juga. Contoh lainnya soal kehidupan pelayanan saya. Waktu itu ada rekan sepelayanan saya yang bilang saya tinggal satu2nya mahasiswa di angkatan saya yang belum lulus. Katanya saya tidak fokus dengan studi dan terlalu asyik pelayanan. Bahkan parahnya dia bilang saya bisa menjadi batu sandungan. Rasanya saat itu saya hanya ingin bilang “Hei tahu apa kamu soal hidup saya? Mind your own bussiness, key!” Thanks God, saat itu kesabaran saya sedang full in charge.

Masih banyak sebenarnya idealisme saya yang berbenturan dengan realitas. Kadang hal ini membuat saya bungkam dan akhirnya seperti robot yang diatur-atur dengan alasan nggak enak-lah atau nggak sopan-lah. Tapi ada kalanya idealisme harus disuarakan. I mean, selama saya tahu saya tetap berada di track yang benar, berpegang pada satu-satunya kebenaran yang saya percaya (my holly bible, of course), tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak mengucapkan saksi dusta (halah!?), kenapa harus diam. So what apa kata orang. It’s my life, not yours.

Well, kalau lagi2 kita dihadapkan pada idealisme dan realitas, tidak ada salahnya menyuarakan idealisme kita. Tapi jangan lupa untuk sesekali menurunkan idealisme itu, minimal tidak terlalu jauh dengan realitas dan akhirnya menemukan jalan tengah yang terbaik.

Tha
010410..3 p.m.