Thursday, October 24, 2013

Happy 26th birthday Mita Octavacariani



So this is the day..welcome 26th..

Jadi gimana rasanya berusia 26 tahun?

Ulang tahun buat saya adalah merayakan sebuah perubahan. Waktu kecil dulu,setiap kali usia saya bertambah,saya selalu membuat perjanjian dengan mama saya. Misalnya saat ulang tahun ke 8,saya harus tidur di kamar saya sendiri. Saat ulang tahun ke-9, saya harus bisa mencuci baju sendiri. Setiap tahun seperti itu sampai saya merasa cukup dewasa untuk tidak lagi membuat perjanjian seperti itu.

Sadar atau pun tidak,mama sedang mendidik saya untuk selalu mengalami perubahan yang positif setiap tahunnya. Sadar atau pun tidak, saya menjadi akrab dengan perubahan..Berubah dalam sikap,dalam pola pikir, dan tentunya mengalami perubahan dalam memandang segala sesuatu. People change,life change..bukankah hidup memang seperti itu?

Dan sekarang,di usia saya yang sudah 26 tahun ini,di saat saya melihat orang-orang di sekeliling saya bahkan sudah menikah dan punya anak ..I'm getting awesome :D

Soo,kalau kamu tanya sekarang,perubahan apa yang sudah saya lakukan di usia saya yang sudah mencapai twenty something ini..Jawaban saya adalah seperti ini : saya jadi seseorang yang lebih berani mengungkapkan apa yang saya rasakan. Kalau saya nggak suka,saya akan jujur bilang nggak suka. Kalau saya marah,saya akan mengungkapkannya pada orang yang tepat dengan cara dan waktu yang tepat.

Dan yang lebih spektakuler dari itu,kali ini maaf agak narsis,saya menjadi orang yang lebih berani untuk mengambil kesempatan. Hidup cuma sekali,kalau bukan sekarang kapan lagi?? Yang kita butuhkan hanyalah segenggam keberanian.

Usia 26 hanya saya jalani sekali seumur hidup, jadi mau saya nikmati dan saya jalani dengan antusias setiap perubahan yang akan terjadi.

So many thanks saya ucapkan untuk keluarga,sahabat,teman dekat,kenalan..kalian semua yg telah mendampingi saya menjalani perubahan-perubahan itu.

Terima kasih juga untuk peran-peran antagonis yang kadang-kadang saya temui,yang sudah membuat kisah hidup saya nggak flat.

Last but not least,thanks for my Jesus,for showering me unconditionally and unending love..
Welcome 26..its awesome ^^
Tha..301013..1 p.m


Wednesday, July 24, 2013

Bekerja itu Harus Tulus




Pernahkah kamu berada dalam situasi dimana kamu nggak punya pilihan sama sekali selain menjalani apa yang ada di depan mata kamu. Situasi yang memaksa kamu berkata jalanin ajalah, mau gimana lagi. Just take it or leave it. Saya pernah dan untuk menghadapi situasi seperti ini, jawabannya hanya satu, tulus.

Hari ini, salah seorang teman meminta bantuan saya untuk bisa pindah bagian. Posisi saya di kantor sebagai staff HRD seharusnya memiliki wewenang untuk me-rolling staff, tapi kenyataannya birokrasi di kantor saya tidak semudah itu. Singkatnya sih, situasi tidak memungkinkan dia untuk pindah bagian, dan mau nggak mau harus menjalani tugas dari perusahaan. Jalanin atau go away.

Awalnya sih memang hanya soal perpindahan bagian, tapi kemudian melebar jadi masalah gajinya yang nggak sesuai lah, kerjaannya nggak enak, rekan kerja yang rese, dan semua keluhan-keluhan lainnya.

Bukan sekali ini saya mendengar dia mengeluh tentang pekerjaannya. Sebagai teman yang baik, saya berusaha mendengarkan dia, mendukung, dan memberi semangat. Tapi secara profesional sih saya tidak bisa begitu saja mengambil keputusan yang menguntungkan dia, hanya karena dia teman dekat saya. Ujung-ujungnya dia malah membawa saya dalam posisi yang nggak enak. Seakan-akan saya sebagai teman tidak berusaha membantu. Dan dia sukses membuat saya merasa nggak enak karena tidak bisa membantu dia.

Dalam hati saya sih maunya bilang gini, “Ya udah, kalau loe nggak suka sama kerjaan loe, ya resign aja, daripada tiap hari kerjaannya ngeluh mulu.” Atau “Yang kerjaannya berat kan bukan Cuma loe doang, stop ngeluh bisa nggak sih.” Tapi dengan alasan nggak tega dan saya tidak sekejam itu, jadinya kata-kata itu hanya bisa saya simpan sendiri.

Saya sudah hampir tiga tahun bekerja di perusahaan yang sama dengan teman saya tersebut. Tiga kali ganti bos, mulai dari bos yang mulutnya setajam silet, bos yang cuek banget, sampai bos yang suka ngasih kerjaan ekstra dan hobi banget nyuruh lembur. Kerja hampir dua belas jam tiap hari, dan nggak pernah bisa makan siang on time jam dua belas. Gaji naik turun bikin gaya hidup harus ikutan naik turun (antara irit dan bisa hedon kapan aja-red).
Tapi dari perjalanan karir saya selama ini, satu hal yang saya pelajari, bekerja itu harus tulus.

Kalau kita bekerja hanya karena upah yang besar, karir yang mapan, semua ini nggak akan ada ujungnya. Kita akan selalu merasa nggak puas dan melihat rumput tetangga lebih hijau. Endingnya, yang keluar dari mulut kita setiap hari keluhan, keluhan, dan keluhan. Memangnya mau setiap hari kerjanya ngeluh dan merasa unhappy? Saya sih nggak mau. Jadi karena saya nggak bisa merubah situasi kerja saya, yang saya ubah adalah pola pikir saya.

Seseorang pernah bilang sama saya begini, “Kalau kerja itu kita harus tulus, lakukan aja yang terbaik yang kita bisa. Jangan lakukan yang terbaik untuk bos kamu atau untuk perusahaan kamu, tapi lakukan yang terbaik minimal buat diri kamu sendiri dan buat Tuhan kamu.”

Pola pikir ini yang merubah saya. Ternyata kerja yang tulus itu nggak rugi sama sekali. Saya bisa menemui banyak hal di sekeliling saya yang bisa saya syukuri. Gaji mereka yang di luar sana mungkin lebih besar, tapi saya juga tidak pernah kekurangan. Saya bisa tetap tertawa dengan teman-teman, menertawakan kerjaan kami yang numpuk dan bos kami yang demanding. Dan pastinya sih, saya bisa lebih happy. Akhirnya kan, apa pun yang kita jalani harus bikin kita happy, kalau nggak happy, ya ngapain dijalanin :p




Thursday, June 27, 2013

Cerita dalam Kardus




“Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.”


Semua orang pasti pernah patah hati.  
All we have to do is move on.

Andaikan move on bisa semudah itu. Andaikan melupakan seseorang bisa semudah memasukan barang-barang yang sudah tidak terpakai ke dalam kardus, menutupnya rapat-rapat dan meletakannya di gudang, kemudian kita lupa kalau kita pernah memiliki barang-barang tersebut.

Sayangnya move on tidak semudah itu. Mungkin bisa lebih mudah kalau dia yang kita sayang tidak sekantor dengan kita. Mungkin bisa lebih mudah kalau teman-temannya bukan teman-teman kita juga. Lebih mudah kalau dia jahat, selingkuh, melakukan tindakan kriminil atau apa kek yang bisa bikin kita ilfeel dan benci setengah mati sama dia. Tapi kalau nyatanya dia baik, selalu bisa jadi partner buat kita, dan bisa bikin kita nyaman memangnya move on bisa jadi perkara yang mudah? Aku rasa nggak. Dia nggak salah apa-apa. Aku juga enggak. Dan memangnya bisa menyalahkan perbedaan di antara kami? Yang aku tahu, aku sayang sama dia, dia juga sayang sama aku, dan kami sayang sama Tuhan kami masing-masing.

Kalau saja aku bisa memilih dengan siapa aku akan jatuh cinta, mungkin bukan dia yang aku pilih. Bukan dia yang jelas-jelas berbeda denganku. Tapi hati ini tidak bisa memilih, karena kadang cinta itu yang menentukan pilihannya sendiri.

Aku nggak pernah memilih untuk bisa satu kantor dengan dia.  Bisa kerja bareng dengan dia, ketemu dia hampir setiap hari, dan mendapati kalau dia selalu ada di saat aku butuh bantuan. Aku selalu suka cara dia tertawa dan cara dia pake gelang-gelangnya yang bikin dia kelihatan keren. Aku sering kesel sama dia yang selalu gangguin aku, ngata-ngatain aku, tapi dia yang ngeselin memang selalu ngangenin.

Aku suka tiap kali ngeliat dia helpless waktu milih baju di mall, apalagi caranya waktu bilang, “can’t help deh kalau nggak ada kamu”, ngetawain dia waktu salah potong rambut di salon dan akhirnya dia nggak pernah mau ke salon sendirian dan hanya mau potong rambut kalau aku yang ngomong sama orang salonnya.

Tapi aku paling suka dengan caranya melihat aku setiap kali aku bercerita, seakan-akan cerita aku itu cerita yang paling menarik yang pernah dia dengar. Dia mungkin nggak berkomentar banyak, tapi dari senyumnya dan genggaman tangannya, aku tahu semua akan baik-baik saja.

Sekarang kami sudah memilih jalan kami masing-masing. Senyaman apa pun waktu aku bersamanya, kami tetap harus saling melepaskan. Karena kami tidak bisa menyatukan prinsip kami. Kami tetap tidak bisa memaksakan kepercayaan kami.

Jadi kalau sekarang, setelah tiga bulan berlalu sejak kami memutuskan berpisah, wajar nggak sih kalau aku masih merindukannya? Wajar nggak sih kalau aku masih suka stalker dia di facebook, merhatiin status atau DP bbmnya, dan masih ingat hampir setiap detail kebersamaan kami.

Aku hanya memiliki keyakinan kalau suatu saat nanti, aku pasti bisa melepaskannya dari pikiranku dan mungkin hatiku. Kalau pun nggak bisa, hati ini kan tempat terindah untuk menyimpan segala sesuatu yang bukan milik kita lagi, jadi ya kisah kami ini simpan saja dalam hati, sama seperti aku menyimpan barang-barang pemberiannya di dalam kardus ini.