
Saya tinggal di daerah kopo, kuliah di daerah surya sumantri, tidak memiliki kendaraan pribadi apalagi supir pribadi (kecuali sesekali sang bokap yang bersedia mengantar-jemput, itu juga kalau mood antar-jemputnya sedang baik ^^). So, otomatis saya sangat akrab dengan kendaraan umum a.k.a angkot.
Saking seringnya saya naik angkot, saya memiliki banyak pengalaman dan cerita dengan angkot. Mulai dari pengalaman konyol seperti lupa bawa dompet dan terpaksa nggak tahu malu karena harus memohon sama supir angkot untuk nggak bayar, pengalaman annoying seperti harus satu angkot sama anak2 ABG yang ributnya ga ketulungan, pengalaman menyeramkan karena seangkot sama gerombolan pencopet yang untungnya gagal dalam menjalankan aksi mereka, sampai pengalaman yang sempet bikin trauma karena bisa satu angkot sama seorang exhibitionist (salah satu sexual disorder, dimana individu suka mempertontonkan alat kelaminnya untuk mencapai kepuasan sexual).
Selain pengalaman2 itu, seringnya naik angkot juga membawa saya cukup ‘akrab’ dengan supir2 angkot. Tentu saja 4 tahun pulang-pergi dengan rute dan jadwal yang hampir sama membawa saya sedikitnya hapal dengan muka2 mereka.
Saya berusaha memahami sikap ‘menyebalkan’ dari supir2 angkot ini. Ok, saya ceritakan saja sedikit kekesalan saya pada mereka. Mengendarai angkotnya ugal2an, hampir semua supir angkot begitu. Diturunkan di sembarang tempat dengan alasan jalan macet atau penumpang sepi. Ini yang paling sering saya alami dan please deh, itu kan memang sudah resiko pekerjaan mereka, jadi harusnya jangan rugikan penumpang kan. Kalau saya bayar kurang diteriakin seakan saya maling jemuran, giliran saya bayar lebih kadang supir angkot itu ngeloyor pergi tanpa ngasih kembalian.
Memang sih tidak sedikit juga supir2 angkot yang baik dan berdedikasi pada pekerjaan mereka. Waktu itu di bulan puasa, seperti biasa jalanan macet saat menjelang buka. Saya tinggal sendiri di angkot. Awalnya sudah pasrah kalo akhirnya harus diturunkan di tengah jalan. Tapi supir angkot itu tetap setia mengantar saya ke tempat tujuan meskipun beliau harus berbuka hanya dengan segelas air.

Tanpa bermaksud meng- under estimate profesi tertentu, sebanarnya saya cukup prihatin dengan profesi supir angkot ini. Saya mulai menyadari sikap mereka yang menyebalkan juga dikarenakan penumpang yang semakin berkurang, terang saja semakin mudahnya melakukan kredit motor membuat hampir sebagian besar orang memilih menggunakan motor yang aksesnya lebih cepat dan murah, jalanan yang semakin padat terutama saat weekend, saingan angkot lainnya yang jumlahnya masih banyak, dan setoran yang cukup tinggi. Sementara tuntutan ekonomi juga semakin mencekik. Pada akhirnya tekanan2 yang dialami supir angkot itu dilampiaskan pada penumpang.
Sayang sekali pemerintah kurang peka terhadap hal ini. Akhirnya masyarakat juga kan yang dirugikan? Yah, walaupun begitu saya tetap setia memilih angkot sebagai kendaraan yang mengantar saya ke mana-mana, kecuali nanti punya mobil pribadi atau supir pribadi atau bahkan pacar pribadi ^^.
Tha
010210...11 a.m.