“Kamu udah pernah nyobain rainbow
cake?” tanya seseorang pada rekan kerjanya.
“Belum, emang enak yah? Emang apaan
sih itu?happening banget kayanya,” jawab rekan kerjanya itu.
“Ih enak tau, kamu harus coba. Cobain
terus foto, pasang jadi DP BBM deh,” jawab orang itu, disambut tatapan ‘please
deh ngga penting banget’ sama rekan kerjanya itu.
Percakapan
itu berlangsung di kantor, saat jam makan siang, dilakukan oleh dua orang
wanita berumur twenty something, dan
terjadi di hadapan saya.Antara nggak percaya, pengen ketawa, dan akhirnya
kepikiran buat membahas ‘it food’ yang lagi happening ini membuat saya jadi
pendengar yang baik siang itu, yang untungnya ngga terlalu kentara kepo-nya.
Pernah
mendengar istilah it bag? Istilah
untuk tas yang lagi happening dan jadi
incaran banyak orang. Rasanya kurang stylish
kalau nggak punya tas itu sebagai salah satu koleksi kita. Ada juga istilah
‘it shoes’ atau ‘it girl’ yang kurang lebih memiliki arti yang sama. Rasanya
tepat kalau untuk makanan pun diberikan istilah tersebut, ‘it food’.
Beberapa
waktu yang lalu ada demam froyo. Terdapat antrian yang cukup panjang di
beberapa gerai cemilan asam menyegarkan itu. Entahlah orang-orang yang antri itu memang sengaja
dibayar sebagai salah satu strategi penjualan atau memang konsumen sungguhan
yang rela antri berjam-jam karena makanan yang mereka mau beli memang worth it to buy.
Selain froyo sempat juga muncul demam sushi. Banyak orang
membicarakan makanan yang berasal dari Jepang itu. Mereka update status, nge-tweet,
foto dan pasang profil pic atau DP bbm dengan makanan yang harganya tergolong
cukup mahal itu.
Belakangan
makanan nampaknya sudah beralih fungsi. Dari sekedar penghilang rasa lapar
berubah menjadi salah satu alat untuk meningkatkan prestige. Bagi sebagian orang, menjadi kesenangan tersendiri kalau
bisa mengikuti trend dan sudah mencicipi makanan yang ramai dibicarakan ini.
Saya
juga mengalaminya. Waktu jaman kuliah dulu, saya dan teman-teman bela-belain
ngantri lama untuk satu cup froyo yang ternyata rasanya tidak sespektakuler
antriannya. Apalagi beberapa minggu kemudian sudah tidak ada lagi antrian
panjang seperti itu. Kami menyebutnya masa-masa labil jaman kuliah, yang selalu
merasa wajib mengikuti trend yang sedang berlangsung. Tapi mendengar percakapan
siang itu, di kantor yang isinya tentu saja sudah bukan lagi mahasiswa labil,
membuat saya memiliki pandangan lain.
Mengikuti
trend, apakah itu pakaian, rambut, bahkan makanan, menjadi kebutuhan tersendiri
bagi sebagian orang. Bukan berarti hal itu menjadi tolak ukur labil tidaknya
seseorang, tapi mungkin menjadi ukuran gengsi atau prestige bagi orang lain. Ada juga yang hanya sekedar memuaskan
rasa penasaran.
Apapun
alasannya, kembali pada pilihan masing-masing individu. Memilih untuk mengikuti trend,sekedar mencoba
supaya kalau orang tanya nggak kentara ‘ngga gaulnya’ atau memang murni karena
alasan selera. Saya sendiri kalau disuruh milih macaroon vs rainbow cake, mana
yang menjadi favorit saya, pilihan saya akan tetap jatuh pada surabi kinca dan
bala-bala sebagai ‘my it food’
Tha..10072k12 4 p.m.