“Tulisan ini untuk ikut kompetisi
@_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang
di bioskop mulai 13 Juni 2013.”
Semua
orang pasti pernah patah hati.
All
we have to do is move on.
Andaikan move on bisa semudah itu. Andaikan
melupakan seseorang bisa semudah memasukan barang-barang yang sudah tidak
terpakai ke dalam kardus, menutupnya rapat-rapat dan meletakannya di gudang,
kemudian kita lupa kalau kita pernah memiliki barang-barang tersebut.
Sayangnya move on tidak semudah itu. Mungkin bisa
lebih mudah kalau dia yang kita sayang tidak sekantor dengan kita. Mungkin bisa
lebih mudah kalau teman-temannya bukan teman-teman kita juga. Lebih mudah kalau
dia jahat, selingkuh, melakukan tindakan kriminil atau apa kek yang bisa bikin
kita ilfeel dan benci setengah mati
sama dia. Tapi kalau nyatanya dia baik, selalu bisa jadi partner buat kita, dan
bisa bikin kita nyaman memangnya move on bisa jadi perkara yang mudah? Aku rasa
nggak. Dia nggak salah apa-apa. Aku juga enggak. Dan memangnya bisa menyalahkan
perbedaan di antara kami? Yang aku tahu, aku sayang sama dia, dia juga sayang
sama aku, dan kami sayang sama Tuhan kami masing-masing.
Kalau saja aku bisa
memilih dengan siapa aku akan jatuh cinta, mungkin bukan dia yang aku pilih.
Bukan dia yang jelas-jelas berbeda denganku. Tapi hati ini tidak bisa memilih,
karena kadang cinta itu yang menentukan pilihannya sendiri.
Aku nggak pernah memilih
untuk bisa satu kantor dengan dia. Bisa
kerja bareng dengan dia, ketemu dia hampir setiap hari, dan mendapati kalau dia
selalu ada di saat aku butuh bantuan. Aku selalu suka cara dia tertawa dan cara
dia pake gelang-gelangnya yang bikin dia kelihatan keren. Aku sering kesel sama
dia yang selalu gangguin aku, ngata-ngatain aku, tapi dia yang ngeselin memang
selalu ngangenin.
Aku suka tiap kali ngeliat
dia helpless waktu milih baju di
mall, apalagi caranya waktu bilang, “can’t
help deh kalau nggak ada kamu”, ngetawain dia waktu salah potong rambut di
salon dan akhirnya dia nggak pernah mau ke salon sendirian dan hanya mau potong
rambut kalau aku yang ngomong sama orang salonnya.
Tapi aku paling suka dengan
caranya melihat aku setiap kali aku bercerita, seakan-akan cerita aku itu
cerita yang paling menarik yang pernah dia dengar. Dia mungkin nggak
berkomentar banyak, tapi dari senyumnya dan genggaman tangannya, aku tahu semua
akan baik-baik saja.
Sekarang kami sudah
memilih jalan kami masing-masing. Senyaman apa pun waktu aku bersamanya, kami
tetap harus saling melepaskan. Karena kami tidak bisa menyatukan prinsip kami.
Kami tetap tidak bisa memaksakan kepercayaan kami.
Jadi kalau sekarang,
setelah tiga bulan berlalu sejak kami memutuskan berpisah, wajar nggak sih
kalau aku masih merindukannya? Wajar nggak sih kalau aku masih suka stalker dia di facebook, merhatiin status atau DP bbmnya, dan masih ingat hampir
setiap detail kebersamaan kami.
Aku hanya memiliki
keyakinan kalau suatu saat nanti, aku pasti bisa melepaskannya dari pikiranku
dan mungkin hatiku. Kalau pun nggak bisa, hati ini kan tempat terindah untuk
menyimpan segala sesuatu yang bukan milik kita lagi, jadi ya kisah kami ini
simpan saja dalam hati, sama seperti aku menyimpan barang-barang pemberiannya
di dalam kardus ini.
Mita Cia yo...
ReplyDeleteWajar kok wajar sekali. Engga gampang tapi kami pasti bisa. How's life now mit ? Cemungud...