Thursday, June 27, 2013

Cerita dalam Kardus




“Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.”


Semua orang pasti pernah patah hati.  
All we have to do is move on.

Andaikan move on bisa semudah itu. Andaikan melupakan seseorang bisa semudah memasukan barang-barang yang sudah tidak terpakai ke dalam kardus, menutupnya rapat-rapat dan meletakannya di gudang, kemudian kita lupa kalau kita pernah memiliki barang-barang tersebut.

Sayangnya move on tidak semudah itu. Mungkin bisa lebih mudah kalau dia yang kita sayang tidak sekantor dengan kita. Mungkin bisa lebih mudah kalau teman-temannya bukan teman-teman kita juga. Lebih mudah kalau dia jahat, selingkuh, melakukan tindakan kriminil atau apa kek yang bisa bikin kita ilfeel dan benci setengah mati sama dia. Tapi kalau nyatanya dia baik, selalu bisa jadi partner buat kita, dan bisa bikin kita nyaman memangnya move on bisa jadi perkara yang mudah? Aku rasa nggak. Dia nggak salah apa-apa. Aku juga enggak. Dan memangnya bisa menyalahkan perbedaan di antara kami? Yang aku tahu, aku sayang sama dia, dia juga sayang sama aku, dan kami sayang sama Tuhan kami masing-masing.

Kalau saja aku bisa memilih dengan siapa aku akan jatuh cinta, mungkin bukan dia yang aku pilih. Bukan dia yang jelas-jelas berbeda denganku. Tapi hati ini tidak bisa memilih, karena kadang cinta itu yang menentukan pilihannya sendiri.

Aku nggak pernah memilih untuk bisa satu kantor dengan dia.  Bisa kerja bareng dengan dia, ketemu dia hampir setiap hari, dan mendapati kalau dia selalu ada di saat aku butuh bantuan. Aku selalu suka cara dia tertawa dan cara dia pake gelang-gelangnya yang bikin dia kelihatan keren. Aku sering kesel sama dia yang selalu gangguin aku, ngata-ngatain aku, tapi dia yang ngeselin memang selalu ngangenin.

Aku suka tiap kali ngeliat dia helpless waktu milih baju di mall, apalagi caranya waktu bilang, “can’t help deh kalau nggak ada kamu”, ngetawain dia waktu salah potong rambut di salon dan akhirnya dia nggak pernah mau ke salon sendirian dan hanya mau potong rambut kalau aku yang ngomong sama orang salonnya.

Tapi aku paling suka dengan caranya melihat aku setiap kali aku bercerita, seakan-akan cerita aku itu cerita yang paling menarik yang pernah dia dengar. Dia mungkin nggak berkomentar banyak, tapi dari senyumnya dan genggaman tangannya, aku tahu semua akan baik-baik saja.

Sekarang kami sudah memilih jalan kami masing-masing. Senyaman apa pun waktu aku bersamanya, kami tetap harus saling melepaskan. Karena kami tidak bisa menyatukan prinsip kami. Kami tetap tidak bisa memaksakan kepercayaan kami.

Jadi kalau sekarang, setelah tiga bulan berlalu sejak kami memutuskan berpisah, wajar nggak sih kalau aku masih merindukannya? Wajar nggak sih kalau aku masih suka stalker dia di facebook, merhatiin status atau DP bbmnya, dan masih ingat hampir setiap detail kebersamaan kami.

Aku hanya memiliki keyakinan kalau suatu saat nanti, aku pasti bisa melepaskannya dari pikiranku dan mungkin hatiku. Kalau pun nggak bisa, hati ini kan tempat terindah untuk menyimpan segala sesuatu yang bukan milik kita lagi, jadi ya kisah kami ini simpan saja dalam hati, sama seperti aku menyimpan barang-barang pemberiannya di dalam kardus ini.





1 comment:

  1. Mita Cia yo...
    Wajar kok wajar sekali. Engga gampang tapi kami pasti bisa. How's life now mit ? Cemungud...

    ReplyDelete