Pernahkah kamu berada
dalam situasi dimana kamu nggak punya pilihan sama sekali selain menjalani apa
yang ada di depan mata kamu. Situasi yang memaksa kamu berkata jalanin ajalah, mau gimana lagi. Just take
it or leave it. Saya pernah dan untuk menghadapi situasi seperti ini,
jawabannya hanya satu, tulus.
Hari ini, salah seorang
teman meminta bantuan saya untuk bisa pindah bagian. Posisi saya di kantor
sebagai staff HRD seharusnya memiliki wewenang untuk me-rolling staff, tapi
kenyataannya birokrasi di kantor saya tidak semudah itu. Singkatnya sih,
situasi tidak memungkinkan dia untuk pindah bagian, dan mau nggak mau harus
menjalani tugas dari perusahaan. Jalanin atau go away.
Awalnya sih memang hanya
soal perpindahan bagian, tapi kemudian melebar jadi masalah gajinya yang nggak
sesuai lah, kerjaannya nggak enak, rekan kerja yang rese, dan semua keluhan-keluhan lainnya.
Bukan sekali ini saya
mendengar dia mengeluh tentang pekerjaannya. Sebagai teman yang baik, saya
berusaha mendengarkan dia, mendukung, dan memberi semangat. Tapi secara
profesional sih saya tidak bisa begitu saja mengambil keputusan yang
menguntungkan dia, hanya karena dia teman dekat saya. Ujung-ujungnya dia malah
membawa saya dalam posisi yang nggak enak. Seakan-akan saya sebagai teman tidak
berusaha membantu. Dan dia sukses membuat saya merasa nggak enak karena tidak
bisa membantu dia.
Dalam hati saya sih maunya
bilang gini, “Ya udah, kalau loe nggak
suka sama kerjaan loe, ya resign aja, daripada tiap hari kerjaannya ngeluh
mulu.” Atau “Yang kerjaannya berat
kan bukan Cuma loe doang, stop ngeluh bisa nggak sih.” Tapi dengan alasan
nggak tega dan saya tidak sekejam itu, jadinya kata-kata itu hanya bisa saya
simpan sendiri.
Saya sudah hampir tiga
tahun bekerja di perusahaan yang sama dengan teman saya tersebut. Tiga kali
ganti bos, mulai dari bos yang mulutnya setajam silet, bos yang cuek banget,
sampai bos yang suka ngasih kerjaan ekstra dan hobi banget nyuruh lembur. Kerja
hampir dua belas jam tiap hari, dan nggak pernah bisa makan siang on time jam dua belas. Gaji naik turun
bikin gaya hidup harus ikutan naik turun (antara irit dan bisa hedon kapan
aja-red).
Tapi dari perjalanan karir
saya selama ini, satu hal yang saya pelajari, bekerja itu harus tulus.
Kalau kita bekerja hanya
karena upah yang besar, karir yang mapan, semua ini nggak akan ada ujungnya.
Kita akan selalu merasa nggak puas dan melihat rumput tetangga lebih hijau. Endingnya, yang keluar dari mulut kita
setiap hari keluhan, keluhan, dan keluhan. Memangnya mau setiap hari kerjanya
ngeluh dan merasa unhappy? Saya sih
nggak mau. Jadi karena saya nggak bisa merubah situasi kerja saya, yang saya
ubah adalah pola pikir saya.
Seseorang pernah bilang
sama saya begini, “Kalau kerja itu kita harus tulus, lakukan aja yang terbaik
yang kita bisa. Jangan lakukan yang terbaik untuk bos kamu atau untuk
perusahaan kamu, tapi lakukan yang terbaik minimal buat diri kamu sendiri dan
buat Tuhan kamu.”
Pola pikir ini yang
merubah saya. Ternyata kerja yang tulus itu nggak rugi sama sekali. Saya bisa
menemui banyak hal di sekeliling saya yang bisa saya syukuri. Gaji mereka yang
di luar sana mungkin lebih besar, tapi saya juga tidak pernah kekurangan. Saya
bisa tetap tertawa dengan teman-teman, menertawakan kerjaan kami yang numpuk
dan bos kami yang demanding. Dan
pastinya sih, saya bisa lebih happy. Akhirnya
kan, apa pun yang kita jalani harus bikin kita happy, kalau nggak happy, ya
ngapain dijalanin :p
Good one Mita :)
ReplyDelete