Saya adalah salah satu penyintas Covid-19.
Awalnya saya merasa agak lemas dan
sakit tenggorokan. Saya pikir badan saya tumbang karena sebelumnya selama satu
minggu saya kemping di rumah sakit, menjaga tante yang harus opname. Bagi
beberapa sahabat dan keluarga yang tahu, selama satu tahun terakhir ini saya
memang mendampingi tante saya yang sedang menjalani pengobatan kanker.
Memasuki bulan Februari, kondisi
tante saya memang agak drop dan hampir satu minggu tidak bisa bangun dari
tempat tidur sampai akhirnya terpaksa rawat inap menjelang kemoterapi yang
terakhir.
Saat itu memang saya sedikit
kelelahan secara fisik (kurang tidur karena jaga berhari-hari di rumah sakit) dan
mental (cukup stress karena mendampingi yang sakit tentunya tidak mudah), sehingga
imun saya turun. Jadi sebaik apa pun saya menerapkan protokol kesehatan, ketika
imun turun maka saya pun bisa terkena Covid.
Sakit tenggorokan yang saya rasakan
hanya berlangsung dua hari. Namun, ketika saya kehilangan indra penciuman, saya
tahu ada sesuatu yang tidak beres dan saya harus memeriksakan diri. Saya
langsung menuju rumah sakit terdekat dan melakukan tes PCR.
Sambil menunggu hasil tes PCR, berbagai
skenario buruk terlintas dalam benak saya. Jika saya positif, bagaimana dengan
keluarga di rumah? Saat ini saya tinggal dengan tante saya yang sedang kemoterapi,
Oma yang berusia delapan puluh enam tahun, tante saya yang juga komorbid pasca
stroke, dan seorang tante lagi yang kondisinya cukup sehat.
Jadi bisa bayangkan paniknya saya
saat itu. Bukan takut saya kenapa-kenapa, tapi kalau keluarga saya yang kondisinya
cukup rentan terkena juga, lalu bagaimana? Selama ini pemberitaan media tentang
covid memang cukup menakutkan terutama bagi mereka yang berusia lanjut atau
memiliki penyakit bawaan.
Bersyukur, saya dikelilingi orang-orang
yang sangat peduli dan helpful. Sementara menunggu hasil swab saya
keluar, ada petugas kesehatan yang bisa dipanggil ke rumah untuk swab keluarga
saya yang lain. Sorenya hasil swab kami keluar. Saya dan Oma dinyatakan positif
Covid 19.
Langkah tercepat yang kami lakukan
adalah memindahkan tante saya yang sedang menjalani pengobatan kanker ke rumah
saudara terdekat. Saya bersyukur setelah konsultasi dengan dokter, saya dan Oma
hanya mengalami gejala ringan dan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah.
Kebetulan beberapa keluarga saya
adalah tenaga kesehatan, jadi mereka memberikan edukasi yang cukup baik
mengenai hal-hal yang perlu dilakukan selama melakukan isolasi mandiri di rumah
bersama anggota keluarga lain yang negatif. Jadi selama di rumah kami
menjalankan protokol kesehatan seperti menggunakan masker (saya dan oma
menggunakan masker KN95 dan yang lain minimal masker medis, tinggalin dulu
masker kain lucu-lucu yang selama ini dipakai), memisahkan semua peralatan
makan, kamar mandi, dan jaga jarak. Semprotan disinfektan siap sedia setiap
saat. Dikit-dikit semprot, dikit-dikit cuci tangan sudah hal wajib untuk
keamanan bersama.
Kini saya paham Covid 19 ini ‘berbeda’
dari virus lainnya. Gejalanya berbeda kepada setiap orang tergantung imunitas
tubuh masing-masing. Yang sering kita baca dan dengar kebanyakan dengan gejala berat
dan cukup ‘menakutkan’. Kondisi tubuh pun harus dipantau terus setiap hari,
jangan sampai demam atau sesak. Berbagai ketidakpastian ini tentu saja membuat
cemas karena kita tidak tahu apakah hari ini aman atau tidak.
Banyak yang bilang selama sakit kita
harus happy dan terus berpikiran positif supaya imun tidak turun karena
Covid-19 ini adalah perang antara imunitas tubuh dengan virus itu sendiri.
Namun, prakteknya tentu saja tidak semudah itu. Beberapa hari pertama isolasi
saya suka terbangun tengah malam, khawatir dengan kondisi Oma. Terkadang di
waktu tidur, antara sadar dan tidak, saya merasa Oma memanggil. Ditambah lagi
orang-orang yang setiap hari mengirim pesan dan menanyakan kondisi Oma. Saya
tahu mereka peduli, tetapi menjawabnya satu per satu dan menceritakan kondisi
kami secara rinci rupanya cukup melelahkan.
Kekhawatiran tidak bisa menjaga Oma dan
orang rumah jauh melebihi kekhawatiran terhadap kondisi tubuh saya sendiri.
Selepas satu minggu menjalani isolasi saya sudah bisa lebih tenang.
Jika ada hal yang bisa saya pelajari
selama sakit, mungkin saya belajar untuk melepaskan segala bentuk kekhawatiran.
Rasa gelisah, takut, dan cemas tidak akan menambah panjang
umur kita, bukan? Nyatanya saya memang tidak bisa sepenuhnya menjaga semua orang
yang saya anggap penting. Akhirnya, ketika saya belajar menyerahkannya kepada Tuhan,
saya tahu mereka semua berada di tangan yang tepat.
Hal lainnya, saya belajar menikmati
waktu dengan diri saya sendiri. Mungkin aneh, tapi rasanya sakit ini seperti ‘hadiah
kecil’ dari Tuhan. Saya bisa istirahat total, menikmati waktu tanpa perlu
terburu-buru mengerjakan banyak hal. Rasanya cukup baik bisa rebahan
tanpa perlu sedikit-sedikit dipanggil untuk mengurus ini dan itu.
Mungkin jika ada kalimat yang tepat
untuk menggambarkan situasi saya sekarang: sabar, satu per satu (quote terkenal
dari NKCTHI). Sabar, hari ini bisa cium bau kayu putih, mudah-mudahan besok
bisa mencium harumnya shampo. Sabar, hari ini istirahat dulu. Besok kita
berjuang lagi. Tidak apa-apa istirahat, asal jangan berhenti.
Untukmu yang membaca tulisan ini,
apa pun yang sedang kau perjuangkan sekarang, tetap semangat, ya. Jangan lupa
istirahat, dan jangan lupa mendengarkan dirimu sendiri.
Sekarang setelah menjalani isolasi
mandiri selama 14 hari dan tambahan 10 hari masa pemulihan sampai indra
penciuman saya normal sepenuhnya, Swab kedua saya sudah dinyatakan negatif.
Yeaaay, akhirnya bisa melalui semua ini dan resmi menjadi penyintas Covid-19.
Jika kamu membutuhkan informasi
mengenai obat, suplemen, dan vitamin yang saya gunakan selama sakit, atau
hal-hal teknis dari awal sakit dan proses isolasi, silakan kontak saya melalui
DM IG @mitavacariani.