Friday, March 26, 2021

Covid-19 dan Segala Sesuatu di antaranya





Saya adalah salah satu penyintas Covid-19.

Awalnya saya merasa agak lemas dan sakit tenggorokan. Saya pikir badan saya tumbang karena sebelumnya selama satu minggu saya kemping di rumah sakit, menjaga tante yang harus opname. Bagi beberapa sahabat dan keluarga yang tahu, selama satu tahun terakhir ini saya memang mendampingi tante saya yang sedang menjalani pengobatan kanker.

Memasuki bulan Februari, kondisi tante saya memang agak drop dan hampir satu minggu tidak bisa bangun dari tempat tidur sampai akhirnya terpaksa rawat inap menjelang kemoterapi yang terakhir.

Saat itu memang saya sedikit kelelahan secara fisik (kurang tidur karena jaga berhari-hari di rumah sakit) dan mental (cukup stress karena mendampingi yang sakit tentunya tidak mudah), sehingga imun saya turun. Jadi sebaik apa pun saya menerapkan protokol kesehatan, ketika imun turun maka saya pun bisa terkena Covid.

Sakit tenggorokan yang saya rasakan hanya berlangsung dua hari. Namun, ketika saya kehilangan indra penciuman, saya tahu ada sesuatu yang tidak beres dan saya harus memeriksakan diri. Saya langsung menuju rumah sakit terdekat dan melakukan tes PCR.

Sambil menunggu hasil tes PCR, berbagai skenario buruk terlintas dalam benak saya. Jika saya positif, bagaimana dengan keluarga di rumah? Saat ini saya tinggal dengan tante saya yang sedang kemoterapi, Oma yang berusia delapan puluh enam tahun, tante saya yang juga komorbid pasca stroke, dan seorang tante lagi yang kondisinya cukup sehat.

Jadi bisa bayangkan paniknya saya saat itu. Bukan takut saya kenapa-kenapa, tapi kalau keluarga saya yang kondisinya cukup rentan terkena juga, lalu bagaimana? Selama ini pemberitaan media tentang covid memang cukup menakutkan terutama bagi mereka yang berusia lanjut atau memiliki penyakit bawaan.

Bersyukur, saya dikelilingi orang-orang yang sangat peduli dan helpful. Sementara menunggu hasil swab saya keluar, ada petugas kesehatan yang bisa dipanggil ke rumah untuk swab keluarga saya yang lain. Sorenya hasil swab kami keluar. Saya dan Oma dinyatakan positif Covid 19.

Langkah tercepat yang kami lakukan adalah memindahkan tante saya yang sedang menjalani pengobatan kanker ke rumah saudara terdekat. Saya bersyukur setelah konsultasi dengan dokter, saya dan Oma hanya mengalami gejala ringan dan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah.

Kebetulan beberapa keluarga saya adalah tenaga kesehatan, jadi mereka memberikan edukasi yang cukup baik mengenai hal-hal yang perlu dilakukan selama melakukan isolasi mandiri di rumah bersama anggota keluarga lain yang negatif. Jadi selama di rumah kami menjalankan protokol kesehatan seperti menggunakan masker (saya dan oma menggunakan masker KN95 dan yang lain minimal masker medis, tinggalin dulu masker kain lucu-lucu yang selama ini dipakai), memisahkan semua peralatan makan, kamar mandi, dan jaga jarak. Semprotan disinfektan siap sedia setiap saat. Dikit-dikit semprot, dikit-dikit cuci tangan sudah hal wajib untuk keamanan bersama.

Kini saya paham Covid 19 ini ‘berbeda’ dari virus lainnya. Gejalanya berbeda kepada setiap orang tergantung imunitas tubuh masing-masing. Yang sering kita baca dan dengar kebanyakan dengan gejala berat dan cukup ‘menakutkan’. Kondisi tubuh pun harus dipantau terus setiap hari, jangan sampai demam atau sesak. Berbagai ketidakpastian ini tentu saja membuat cemas karena kita tidak tahu apakah hari ini aman atau tidak.

Banyak yang bilang selama sakit kita harus happy dan terus berpikiran positif supaya imun tidak turun karena Covid-19 ini adalah perang antara imunitas tubuh dengan virus itu sendiri. Namun, prakteknya tentu saja tidak semudah itu. Beberapa hari pertama isolasi saya suka terbangun tengah malam, khawatir dengan kondisi Oma. Terkadang di waktu tidur, antara sadar dan tidak, saya merasa Oma memanggil. Ditambah lagi orang-orang yang setiap hari mengirim pesan dan menanyakan kondisi Oma. Saya tahu mereka peduli, tetapi menjawabnya satu per satu dan menceritakan kondisi kami secara rinci rupanya cukup melelahkan.

Kekhawatiran tidak bisa menjaga Oma dan orang rumah jauh melebihi kekhawatiran terhadap kondisi tubuh saya sendiri. Selepas satu minggu menjalani isolasi saya sudah bisa lebih tenang.

Jika ada hal yang bisa saya pelajari selama sakit, mungkin saya belajar untuk melepaskan segala bentuk kekhawatiran. Rasa gelisah, takut, dan cemas tidak akan menambah panjang umur kita, bukan? Nyatanya saya memang tidak bisa sepenuhnya menjaga semua orang yang saya anggap penting. Akhirnya, ketika saya belajar menyerahkannya kepada Tuhan, saya tahu mereka semua berada di tangan yang tepat.

ngurusin segala perintilan cetak 'the journalist' selama isoman adalah jalan ninjaku untuk tetap happy dan mengusir kebosanan


Hal lainnya, saya belajar menikmati waktu dengan diri saya sendiri. Mungkin aneh, tapi rasanya sakit ini seperti ‘hadiah kecil’ dari Tuhan. Saya bisa istirahat total, menikmati waktu tanpa perlu terburu-buru mengerjakan banyak hal. Rasanya cukup baik bisa rebahan tanpa perlu sedikit-sedikit dipanggil untuk mengurus ini dan itu.

Mungkin jika ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi saya sekarang: sabar, satu per satu (quote terkenal dari NKCTHI). Sabar, hari ini bisa cium bau kayu putih, mudah-mudahan besok bisa mencium harumnya shampo. Sabar, hari ini istirahat dulu. Besok kita berjuang lagi. Tidak apa-apa istirahat, asal jangan berhenti.

Untukmu yang membaca tulisan ini, apa pun yang sedang kau perjuangkan sekarang, tetap semangat, ya. Jangan lupa istirahat, dan jangan lupa mendengarkan dirimu sendiri.

Sekarang setelah menjalani isolasi mandiri selama 14 hari dan tambahan 10 hari masa pemulihan sampai indra penciuman saya normal sepenuhnya, Swab kedua saya sudah dinyatakan negatif. Yeaaay, akhirnya bisa melalui semua ini dan resmi menjadi penyintas Covid-19.

Jika kamu membutuhkan informasi mengenai obat, suplemen, dan vitamin yang saya gunakan selama sakit, atau hal-hal teknis dari awal sakit dan proses isolasi, silakan kontak saya melalui DM IG @mitavacariani.

Stay healthy, happy, and blessed everyone